BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Dalam pandangan Hindu tidak memakai istilah dogmatik baik dan jahat
atau surga dengan neraka melainkan memiliki etika-etika yang berdasar karena
kebutuhan untuk menyelaraskan keinginan individu, emosi, dan ambisi untuk
mengarahkannya pada sebuah kehidupan yang harmonis di bumi dengan tujuan mutlak
dari agama Hindu untuk menyadari keberadaan kita sendiri. Kesadaran diri
menurut pandangan Hindu adalah kesadaran pada diri kita dengan Tuhan, sebagai
sumber dan intisari dari keberadaan manusia dan kebebasannya. Dalam kitab Hindu
menyatakan bahwa setiap individu yang terdiri dari tubuh fisik (sarira),
pikiran (manas), intelek (buddhi), dan diri (atman).
Berdasarkan 4 hal itu, setiap individu membutuhkan hal-hal keduniawian (artha)
untuk dapat mempertahankan tubuh fisik dan memuaskan segala kebutuhan keluarga
dengan ketergantungannya. Untuk memuaskan pikiran dan intelek, kebutuhan untuk
memenuhi keinginannya dan pengejaran intelek (kama) atau penyatuan
dengan Tuhan merupakan tujuan utama dalam kehidupan manusia.
Setiap manusia harus memainkan
perannya demi kebaikan masyarakat, bangsa, dan dunia dengan melakukan tindakan
yang dimotivasi kebaikan sosial dan bertindak sesuai dengan batasan dharma
(kebenaran), tugas, moral, dan hukum sosial. Sehingga dalam hal ini terdapat
empat tujuan prinsip hidup manusia yaitu dharma, artha, kama,
dan moksa. Dharma adalah yang pertama, yang menandakan bahwa
ketiganya tidak dapat dipenuhi tanpa memenuhi kewajiban dharma. Moksa
adalah tujuan yang terakhir karena keterikatan adalah memungkinkan ketika dari
ketiga bagian lain sudah terpenuhi. Walaupun dharma memiliki arti yang berbeda
dari sudut pandang etika, dharma adalah sistem moral dan nilai etika. Hindu
Dharma menyadari adanya tujuh faktor yang membuat seseorang menyimpang dari
jalan dharma atau mengarah untuk perbuatan dosa, yaitu penderitaan (tresna),
kemarahan (krodha), ketamakan (lobha), keterikatan (moha),
rasa bangga (mada), kecemburuan (matsarya), dan egoisme (ahankara).
Untuk menghindari manusia tidak
menyimpang karena pengaruh ketujuh faktor tersebut, maka di dalam filsafat
Hindu terdapat sepuluh kebajikan, yang dikenal dengan "Dharma Laksana",
yang terdapat di dalam kitab "Manu Smrti" yaitu sebagai
berikut:
Akrodha (tidak
marah): Kemarahan yang menutupi alasan, menghasilkan perbedaan antara benar dan
salah, serta kebajikan dan keburukan. Ketika pemikiran yang dapat membedakan
itu dirusak maka orang tersebut akan kehilangan identitas diri. Seseorang yang
marah akan menyakiti diri sendiri dan orang lain, dengan tiga cara yang berbeda
secara fisik (melalui kekerasan), secara verbal (melalui kata-kata kasar), dan
secara mental (melalui keinginan yang buruk). Pengendalian kemarahan dapat
diartikan sebagai sebuah pemikiran yang baik dalam diri.
Asteya (tidak mencuri): Secara umum
mencuri dapat didefinisikan sebagai mengambil dengan paksa atau dengan tidak
adil barang/benda milik orang lain. Dalam etika Hindu, mencuri juga termasuk
didalamnya ingin menguasai barang/benda orang lain dan di atas kebutuhan
legistimasi yang menghambat kemajuan orang lain, atau mengambil kesempatan
mereka dengan memiliki sesuatu melalui maksud yang ilegal. Kurangnya
pengendalian indera dan ketamakan seseorang biasanya menimbulkan suatu
keinginan untuk mencuri. Seseorang yang memegang teguh asteya akan bebas dari
ketamakan dan tidak memiliki keinginan untuk mencuri.
Atma Vinigraha
(pengendalian pikiran): Pikiran yang terganggu tidak dapat akan membedakan
benar dengan yang salah atau kebaikan dengan keburukan. Konsentrasi dalam
memberikan kebijaksanaan dan kasih yang mendalam dapat meningkatkan kekuatan
pikiran.
Dama
(pengendalian diri atau pengendalian indera): Indera harus dapat dikendalikan
sehingga dapat berfungsi sesuai dengan pengarahan alasan. Pengendalian diri
bukan tidak berarti penolakan diri namun dalam bersikap sederhana dalam
memuaskan kebutuhan dan menghindari kebodohan. Seseorang yang dapat
mengendalikan dan membebaskan dirinya dari berbicara yang lepas kendali, gosip,
minum berlebihan, dan menjaga tubuh dan pikirannya agar terkendali. Kurangnya
diskriminasi antara apa yang yang harus dan tidak harus dilakukan yang
mengarahkan seseorang pada angan-angan. Sebuah pikiran yang berkhayal menjadi
tidak sehat untuk dapat menyadari tujuan dari hidup seseorang.
Dhi (kemurnian
pikiran): Kemurnian pikiran dan intelek adalah lebih penting daripada
kecerdasan. Seorang manusia yang memiliki kemurnian intelek akan bebas dari
rasa sakit, temperamen yang tidak baik, perasaan yang buruk, dan keinginan yang
tidak dapat diduga. Para Rsi Hindu berpendapat bahwa kecerdasan sangat
dianjurkan untuk pengajaran pada kitab agar melakukan perbuatan yang baik dan
pikiran yang mulia serta meditasi yang teratur.
Dhrti (ketetapan
dan persistence): Seseorang harus tetap dalam hal pendirian untuk dapat
menemukan kebenaran. Pikiran yang selalu terus beriak tidak akan dapat
menemukan kebenaran. Hidup yang benar sangat dimungkinkan hanya dengan komitmen
seseorang untuk menjalankan kehidupannya.
Ksama
(pengampunan atau kesabaran): Pengampunan adalah kebaikan yang utama dari moral
dan etika hidup. Pengampunan dapat mempertahankan kesucian pikiran bahkan
situasi yang provokatif dalam kehidupan seseorang.
Satya (kebenaran)
: Satya tidak berarti semata-mata berkata yang benar, perkataan dan perbuatan,
dan dalam hubungan kita dengan orang lain. Untuk menjalankan kehidupan yang
bermoral dan hidup yang beretika, maka seseorang harus melakukan kebenaran.
Konsep dari moralitas dapat berubah setiap waktu, namun kebenaran tidak akan
pernah berubah. Tidak ada seorangpun yang dapat menyembunyikan kebenaran secara
terus menerus.
Sauca (kemurnian
tubuh dan pikiran): Kemurnian itu terbagi dalam dua jenis yaitu fisik dan
mental. Kemurnian fisik berarti menjaga tubuh seseorang bersih dari luar maupun
dalam. Kebersihan diri dari dalam dapat diperoleh dengan menjalankan hukum
kesehatan yang baik dan memakan makanan yang "sattvika"
(makanan yang menyehatkan, kekuatan metal, kekuatan, panjang umur, dan yang
bergizi serta mengandung nutrisi). Kebersihan luar artinya mengenakan pakaian
yang bersih dan menjaga kebersihan tubuh. Kemurnian mental berarti bebas dari
pemikiran yang negatif dari nafsu, ketamakan, kemarahan, kebencian, rasa
bangga, kecemburuan, dan lain-lain.
Vidya
(pengetahuan): Kitab Hindu menyatakan bahwa pengetahuan itu ada dua jenis yaitu
pengetahuan yang lebih rendah (apara-vidya) dan pengetahuan yang lebih
tinggi (para-vidya). Pengetahuan yang lebih rendah artinya pengetahuan
yang bersifat keduniawian dalam bidang ilmu dan pengetahuan yang sangat
diperlukan untuk kehidupan di dunia. Sedangkan pengetahuan yang lebih tinggi
adalah pengetahuan spiritual yang mengajarkan cara untuk dapat mengatasi
kesengsaraan yang tidak diharapkan, menggapai tujuan yang bukan halangan, serta
mencapai kekuatan mental dan spiritual untuk dapat mengatasi perjuangan hidup.
Pengetahuan spiritual dapat diperoleh melalui belajar kitab yang berhubungan
dengan orang suci, dan dengan melakukan perbuatan yang tidak mementingkan diri
(niskama). Pengetahuan spiritual juga dapat membantu seseorang untuk
menjalankan kehidupan yang berarti, yang menguntungkan secara sosial. Tujuan
pengetahuan spiritual ini adalah untuk mencapai penyatuan yang mutlak dengan
Tuhan.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Etika di kehidupan beragama dan
bernegara sesuai dengan Ajaran Hindu?
2. Apa sajakah Dasar-Dasar Etika Hindu untuk menjalani kehidupan
didunia ?
3. Apa sajakah Nilai-nilai Etika yang tercantum dalam Hindu ?
4. Didalam ber-Etika Sering Kita dengar yang dimaksud dengan Benar
dan Salah.lalu apa yang dimaksud dengan benar dan salah ?
5. Apa yang dimaksud dengan Dosa menurut Agama Hindu ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan Makalah ini yang berjudulkan Etika dalam Bernegara
dan Beragama agar mahasiswa dan mahasiswi terutama Umat Hindu dapat mengetahui
etika yang semakin lama, semakin tahun mulai memudar karena perkembangan zaman
dan teknologi yang semakin meningkat maju (Merangkul kita).Selain itu, membuka
wawasan kita dalam beretika terhadap seseorang yang muda, yang tua, Pendidik
maupun orang tua kita sendiri.
D. Sistematika Penulisan
Makalah ini ditulis dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan masalah
C.
Tujuan Penulisan
D.
Sistematika Penulisan
E.
Metode Penulisan
Bab II Pembahasan
1.
Apakah yang dimaksud dengan Etika di kehidupan beragama dan bernegara sesuai
dengan Ajaran Hindu?
2. Apa sajakah Dasar-Dasar Etika Hindu untuk menjalani kehidupan
didunia ?
3. Apa sajakah Nilai - nilai Etika yang tercantum dalam Hindu ?
4.
Didalam ber-Etika Sering Kita dengar yang dimaksud dengan Benar dan Salah. lalu
apa yang dimaksud dengan benar dan salah ?
5.
Apa yang dimaksud dengan Dosa menurut Agama Hindu ?
E. Metode
Penulisan
Metode yang
digunakan pada penyusunan makalah ini adalah metode pustaka dan metode pustaka elektronik
yaitu Internet.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Etika di kehidupan Beragama dan
Bernegara
Pengertian Etika
Etika adalah
pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan
atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu, Kesimpulannya etika adalah tingkah
laku baik buruk manusia. Etika berasal dari bahasa yunani “Etos” yang berarti
kebiasaan atau adat. Lambat laun pengertian etika itu berubah menjadi etika adalah
suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia yang
dapt dinilai baik dan dapat dinilai buruk atau kurang baik.
Etika mempunyai
kedudukan dalam ilmu pengetahuan yaitu sebagai ilmu pengetahuan tentang tata
susila yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,
sesama manusia dan alam semesta. Etika juga mempunyai kedudukan yaitu Ida Sang
Hyang Widhi Wasa menciptakan manusia untuk berbuat dan berkarma untuk
mendapatkan suatu kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman.
Di dalam kehidupan di
dunia ini, manusia merupakan makhluk paling sempurna diantara ciptaan Tuhan YME
atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai
bermacam-macam sifat yaitu sifat baik dan sifat buruk. DI dalam Bhagavadgita
kecenderungan-kenderungan sifat manusia dibedakan menjadi 2 bagian yaitu:
- · Daivi Sampat yaitu kecenderungan kedewataan, kecenderungan kedewataan adalah kecenderungan-kecenderunganyang mulia yang menyebabkan manusia berbudi lluhur yang mengantarkan manusia untuk mendapatkan kerahayuan dan kebahagiaan.
- · Asuri Sampat yaitu kecenderungan keraksasaan, kecenderungan keraksasaan adalah kecenderungan yang rendah yang menyebabkan manusia dapat jatuh ke jurang neraka dan mendapatkan penderitaan.
Kedua kecenderungan
tersebut berada dalam setiap manusia tetapi dengan ukuran yang berbeda-beda.
Dalam sarasamuccaya menyebutkan bahwa hanya manusialah yang mengenal perbuatan
yang salah dan benar, baik dan buruk, dan dapat menjadikan yang tidak baik itu
menjadi baik dan sebaliknya. Itulah salah satu kemampuaan manusia yang
diberikan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pengertian Karmaphala
Kata karmaphala berarti
hasil dari perbuatan, karena setiap perbuatan pasti ada akibatnya berwujud baik
atau buruk, suka atau duka, penderitaan atau kebahagian. Tidak ada suatu
perbuatan yang sia-sia di dunia ini semua akan membuahkan hasil yang kita
sadasi atau tidak kita sadari.
Dalam bayangan
kebanyakan orang, hasil atau akibat yana dibentuknya sama seperti apa yang
menjadi sebab. Misalnya jika seseorang memukul orang lain maka orang tersebut
akan menerima karma berupa pukulan, kalau orang tersebut memukul sebanyak dua
kali maka orang tersebut eken menerima karma pukulan sebanyak dua kali pula.
Jika demikian jalannya karma maka setiap orang akan takut untuk berbuat atau
melakukan sesuatu. Seorang tentara tidak akan berani maju ke medan perang untuk
membunuh musuhnya karena takut dengan karma pembunuhan, mungkin tidak akan ada
hakim yang berani memutuskan hukuman penjara karena takut karmaphala dihukum
penjara pula, namun tidak begitu jalannya karmaphala.
Proses karmaphala
sungguh rumit sekali. Walaupun demikian karmaphala adalah suatu kebenaran,
suatu yang nyata-nyata ada dan tidak dibuat-buat atau direkayasa. Seperti
halnya kita menanaman padi, bibit yang kita tanam memang sedikit tetapi padi
yang dihasilkan lebih banyak dari bibit yang kita tanam. Mengapa demkian???
Perlu kita ketahui bahwa padi itu berasal dari tanah, air, angin, panas dan
akasa. Bibit yang sedikit itu jika ditambahkan dengan tanah yang kita cangkul,
dengan air yang kita alirkan dari pematang, degan panas yang kita dapatkan dari
sinar matahari dan tenaga yang kita keluarkan maka bibit padi dapat tumbuh
dengan baik dan hasil padi akan bertambah.
Sebenarnya tidak ada
barang yang bertambah atau berkurang, yang ada hanyalah perubahan bentuk yang
bisa dilakukan melalui karma. Alam ini adalah pabrik serba guna, manusia hanya
perlu memberikan contoh apa yang diinginkan ditambah dengan kerja maka hasi
karma itu akan berlipat. Dengan demikian tidak bisa diperhitungkan secara
kuantitatif dan secara fisik (lahiriah), sebab karmaphala lebih banyak kita
rasakan secara rohaniah. Ada beberapa jenis karmaphala yang didasarkan atas
waktu karmaphala itu diterima, yaitu:
- Ø Prarabdha karmaphala adalah perbuatan yang dilakukan pada kehidupan sekarang dan diterima dalam kehidupannya yang sekarang pula.
- Ø Kryamana karmaphala adalah perbuatan yang dilakukan pada kehidupan yang sekarang tetapi hasilnya akan diterima setelah meninggal dunia.
- Ø Sancita karmaphala adalah perbuatan yang dilakukan sekarang tetapi hasilnya akan diterima pada kehidupan yang akan datang (reinkarnasi).
Sloka:
Prapya punyakritam lokam
Usitwa saswatih sama
Sucinam srimatam gehe
Yogabahrasto phijayate
Bhag. Gita VI. 41
Artinya:
Setelah mencapai dunia kebajikan dan hidup
di alam sana
Dalam waktu yang lama
Orang yang gugur melaksanakan yoga lahir
kembali dalam
Perbuatan suci dan mulia.
Sloka:
Tatra tam budhisamyogam
Labhate purwadehikam
Yayate ca tasto bhuyah
Samsiddhau kurunanda
Bhag. Gita VI. 43
Artinya:
Di sana (di dunia ini) ia menemukan kembali
karateristik
Kesadaran hidupnya yang dahulu dan dengan
ini kemudian
Berusaha lagi untuk kesempurnaan,Oh putra
kuru.
Etika Berbahasa dan
Hubungannya dengan karmapala.
Manusia itu berasal
dari kata manushya yang berarti makhluk yang memiliki pikiran. Pikiran itu yang
membedakan manusia ddengan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bila tumbuh-tumbuhan
hanya memiliki satu kemampuan yaitu kemampuan untuk tumbuh dann bergerak
(bayu), maka binatang memiliki kemampuan yang lebih dari tumbuh-tumbuhan yaitu
kemampuan bergerak dan berbicara (bayu dan sabda).
Manusia adalah makhluk
yang paling sempurna dari ciptaan Tuhan karena manusia memiliki kemampuan
bergerak, berbicara dan berpikir (bayu, sabda dan idep). Dengan memiliki
pikiran manusia bisa merubah nasibnya dan memperbaiki dirinya, seperti apa yang
disebutkan dalam sarasamuccaya sebagai berikut:
Manusah sarwa bhutesu
Warttate wai cubhacubhe
Acubhesu samawistam
Cubheswewa wakarayet
S.S.1.2.
Artinya: Dari demikian banyaknya semua
makhluk hidup yang dilahirkan
Sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat
baik dan buruk,
Kemampuan melebur perbuatan buruk kedalam
perbuatan baik
Demikianlah pahalanya menjadi manusia.
Di sinilah peranan
pikiran sangat pennting, karena pikiran bisa membedakan baik dan buruk, karena
pikiran manusia bisa melakukan pembaharuan sehingga memiliki sarana untuk
mendekatkan diri pada Tuhan.
Ajaran etika yang
paling penting untuk makhluk hidup adalah ajaran Rta. Rta adalah hukum yang
menyusupi alam semesta yang para Dewa dan manusia tunduk padanya. Atau lebih
kita kenal dengan hukum alam. Rta adalah satya yaitu kebenaran, lawan Rta
adalah Anrta yaitu kepalsuan.
Veda mangajarkan
tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan dan para Dewa. Di samping dengan
kewajibannya terhadap Tuhan dan para Dewa, manusia juga mempunyai kewajiban
terhadap sesama yaitu terhadap orang lain. Cinta kasih terhadap sesama,
kemurahan hati, dan kesukaan memberi kepada orang lain adalah kewajiban umat
manusia.
Manusia memiliki
karmanya sendiri-senndiri sesuai dengan apa yang mereka lakukan dan yang mereka
perbuat selama kehidupannya baik masa lalu maupun masa kini. Karma adalah
pengikut setia manusia karena karma selalu mengikuti kita sampai mati, harta,
keluarga dan sanak saudara hanya mengantarkan kita sampai di kuburan. Yang
mengikuti hanyalah karma atau perbuatan baik dan buruk. Maka kita sebagai
manusia selayaknya menjaga tingkah laku dan perbuatan kita.
Pada dasarnya hubungan
antara hukum karma dan etika adalah sangat erat, kenapa bisa dikatakan sangat
erat??? Karena etika itu sendiri menyangkut pada prilaku, perbuatan dan tingkah
laku pada kehidupan sehari-hari. Sedangkan karmaphala itu merupakan hasil
perbuatan atau tingkah laku. Kalau kita berprilaku dan bertingkah laku yang
baik maka kita akan mendapat karma yang baik pula tetapi apabila kita
bertingkah laku dan berprilaku yang buruk maka kita akan mendapat karma sesuai
dengan apa yang kita lakukan.
Seperti halnya kita
menanam padi tidak mungkin akan tumbuh gandum, begitu juga dengan karmapala
jika kita menanam perbuatan yang baik maka buah yang kita hasilkan juga baik
tetapi jika kita menanam perbuatan yang buruk maka buah perbuatan atau karma
yang kita terima juga buruk. Etika sangat penting untuk di pelajari dan
dipahami, sebab etika mengajari kita untuk membedakan mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan yang buruk.
Balo yuwa wrddacca yataroti
cubhacubham,
Tasyam tasyanawasthayam bhunkte
janmani-janmani
Slokantara.X.hal 68
Artinya:
Sebagai seorang anak kecil, sebagai pemuda dan sebagai
orang tua, setiap manusia itu akan memetik hasil perbuatannya yang baik atau
yang buruk dikelairan yang akan datang pada tingkat yang sama umur yang sama.
Perbuatan baik apa yang
kita perbuat waktu kita masih kanak-kanak akan kita nikmati juga hasilnya nanti
jika kita menjadi anak-anak kembali. Tetapi jika berbuat jahat, buah kejahatan
itupun akan kita terima dalam umur yang sama. Segala perbuatan yang kita
lakukan sewaktu muda, yang baik maupun yang buruk,akan kita petik hasilnya
nanti dikelahiran yang akan datang pada umur yang sama. Juga perbuatan yang
baik dan buruk yang kita lakukan pada waktu tua ini akan kita terima buahnya
nanti pada waktu kita tua di kelahiran yang akan datang. Demikian pemungutan
hasil dari perbuatan baik atau jahat kita. Pasti kita akann memetik hasil dari
perbuatan itu, tetapi di waktu keahiran yang akan datang. Oleh karena itu
setiap orang harus berbuat kebaikan dari sejak kecil sampai umur tua. Dan nanti
dalam kelahirannya yang akan datang kita akan mendapatkan karma yang baik atau
buruk sesuai dengan apa yang kita lakukan.
Dalam hal berbahasa
atau berbicara kita memiliki etika yang harus kita terapkan dalam kehidupan. Berbicara
yang sopan atau lemah lembut adalah ciri manusia yang memiliki pengetahuan
etika. Hindu mengajarkan kita untuk untuk menghormati sesama, atau biasa kita
kenal dengan catur guru yang terdiri dari:
v Guru Wisesa yaitu
hormat kepada guru.
v Guru Swadyaya yaitu
hormat kepada pemerintah.
v Guru Rupaka yaitu
hormat kepada orangtua.
v Guru Pengajian yaitu
hormat kepada guru disekolah.
Dari hal di atas sudah
cukup menjelaskan bahwa kita telah diajarkan untuk menghormati sesama tidak
peduli kepada siapa dan apa kedudukan atau jabatan mereka. Lidah manusia lebih
tajam dari sebilah pedang, karena ucapan manusia dapat menyebabkan sakit hati
apabila kita berbicara kasar atau kotor.
Wadanam bahuwakyam wacani punah-punah,
Jnanagamyena dusita na grahitawya wicaksanaih.
Artinya:
Karena “lidah kamu, memotong kepalamu, harimau kamu”
kadang-kadang lidahmu atau kata-katamu akan buas sebagai harimau yang mungkin
akan menjerumuskan kita kepada lembah derita.
Dan juga sudah diakui
itu lebih tajam lagi karena tusukan pedang mungkin dapat disembuhkan tetapi
tusukan kata-kata akan melukai hati seumur hidup. Ia akan membakar hati dan
keinginan untuk membalas dendam itupun tidak baik. Tetapi walaupun bagaimana
juga kata-kata atau bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam kitab Nitisastra
dikatakan:
“Wasita nimitanta manemu laksmi,
Wasita nimittanta pati kapangguh
Wasita nimittanta manemu dukha.
Wasita nimittanta mitra”.
Artinya:
“Karena kata-kata engkau mendapatkan
kebahagiaan
Karena kata-kata engkau menemui ajalmu.
Karena kata-kata engkau menemui nestapa
Karena kata-kata engkau mendapatkan
teman-teman”.
Kita hidup sebagai
manusia haruslah berbuat kebaikan sebagai alat mencapai kebahagiaan baik di
dunia ini atau alam sesudah kita meninggal. Hendaklah kita menjaga ucapan dan
kata-kata kita apabila kita berkomunikasi dengan orang lain dan jangan pernah
menyakiti orang lain dengan kata-kata yang kita ucapkan, karena jika kita
menyakiti orang lain maka suatu saat kita akan mendapatkan karma sesuai dengan
apa yang kita perbuat dan lakukan.
Didalam Agama Hindu juga terutama dalam beretika ada yang dimaksud
pencerahan.
Apa itu Pencerahan?
Setiap ceramah
atau tulisan tentang agama disebut pencerahan. Disebuah majalah yang terbit di
Berlin, Jerman, Berlinsche Monaschrift pada bulan Nopember 1784. Dan
respondennya adalah Imannuel kant (1724 – 1804).
Ia
mengidentifikasikan bahwa “jalan keluar” yang menjadi ciri dari pencerahan
adalah satu proses yang membebaskan kita dari status “ketidak-dewasaan” yaitu
immaturity yang maksudnya satu keadaan tertentu dari kehendak kita yang membuat
kita menerima otoritas orang lain untuk membimbing atau mengarahkan kita kepada
wilayah dimana penggunaan akal budi seharusnya digunakan.
Kant
mendefinisikan dua syarat utama melalui mana manusia dapat membebaskan dirinya
dari “ketidak-dewasaan”. Dua syarat ini sekaligus spiritual dan institusional,
etis dan politis.
Jadi, Pencerahan
adalah penggunaan akal secara secara bebas. Kant terkenal dengan ucapan “Sapere
Aude” yang artinya “berani tahu”(dare to know) mempunyai keberanian untuk tahu
(have the courage, the audacity to know).
Dalam Hindu
penggunaan akal didorong, Akal didorong untuk berpikir dan bisa mengeluarkan nalar
yang smart dan good. Manusia dikaruniakan nalar oleh Tuhan Sang Hyang Widhi
Wasa dan manusia berhak untuk memenuhi kebutuhan nalarnya. Ketika manusia telah
menggunakan nalarnya secra maksimum, tetapi ia belum menemukan jawaban yang
memuaskan, barulah ia berpaling kepada atau mungkin juga dari keyakinan.
Penggunaan nalar secara maksimal di Barat telah menghasilkan tidak saja ilmu
pengetahuan (alam), tetapi juga filsafat, teori atau ilmu – ilmu sosial seperti
demokrasi, HAM, dan humanisme yang membebaskan manusia dari perbudakan manusia
lain. Seringkali atas dasar dogma –dogma, sesungguhnya teori John Locke dan
Jean Jasques Rousseau tentang kontrak sosial yang mempengaruhi pembebsan budak
di Eropa dan Amerika serikat.
Didalam Bhagawad
Gita telah menunjukkan bahwa intelektuial sangat berguna didalam memahami
agama. Didalam Agama Hindu, penggunaan nalar atau intelektualitas didorong
bukan dibatasi atau dilarang. Filsafat atau dharsana menjadi bagian dari tattva
Agama Hindu. Hindu tidak pernah memusuhi filsafat seperti yang pernah dilakukan
oleh Kristen dan (masih) oleh Islam. Pembatasan penggunaan nalar didalam agama
akan membuata manusia jatuha kedalam kegelapan, sebagaimana yang pernah
dialalmi oleh Barat pada abad pertengahannya, dan di negara –negara yang
berdasarkan hukum agama dewasa ini.
Budi pekerti
didalam beretika, muncul wacana budi pekerti hal ini didorong oleh kerusakan
moral masyarakat kita dalam bentuk korupsi yang akut serta kekerasan dan
terorisme yang membawa kehancuran ekonomi dan kohesi sosial. Kekerasan bahkan
sudah merambah kesekolah – sekolah padahal masyarakat kita terkenal sangat
ramah, saleh dan cinta damai atau agamis.
Budi pekerti
dihapuskan dikurikulum karena dianggap sudah tercangkup diddalam Agama. Tetapi
pelajaran agama bahkan praktik agama yang demikian semangat dan meriah ternyata
tidak menghasilkan moral bangsa semakin merosot.
Lalu apa definisi
Budi Pekerti, kata budi berasal dari “Buddhi” dan “Pekerti” berasal dari bahasa
sansekerta yang artinya masing – masing sebagai berikut : “Buddhi” artinya itu
dengan mana sebuah obyek dapat diketahui, intelek, kadang – kadang diartikan
sebagaibenak, kemampuan wiweka. “Upakarti” : seseorang yang melakukan hal – hal
yang baik, seorang yang memperoleh manfaat, seorang yang membantu.
Dalam bahasa
Indonesia kedua kata ini mengalami sedikit perubahan yaitu sebagai berikut
“Budi” ialah alat batin yang merupakan paduan akan dan perasaan untuk menimbang
baik dan buruk, tabiat, ahlak, watak, perbuatan baik, kebaikan, daya upaya.
“Pekerti” perangai, tabiat, ahlak, watak, perbuatan (kurang baik) = ia pun
sangat marah mendengar budi pekerti anaknya.
Dalam Yoga Sutra
“Buddhi” merupakan salah satu komponen dari chitta. Chitta atau chiti artinya
kesadaran atau benak, buddhi merupakan salah satu komponen dari chitta : dua
yang lain adalah manas, dan ahamkara. Manas adalah bagian perekam yang menerima
kesan-kesan yang dikumpulkan indra-indra dari dunia luar. Buddhi adalah bagian
penganalisis yang mengklasifikasikan kesan-kesan ini dan bereaksi terhadapnya.
Ahamkara adalah ego yang mengakui kesan-kesan ini dan meyimpannya sebagai
pengetahuan individu.
Ahamkara atau ego
itu adalah perasaan sombong, juga serakah, kemelekatan, bagga bahkan juga
cinta. Serakah, misalnya gaji besar, fasilitas bagus, tetapi masih korupsi.
Jadi, apa sumber
budi pekerti?
Sumber budi
pekerti antara lain, kebiasaan / budaya, hukum dan agama. Lalu Agama didalam
Agama ada tercantum Dharma yang mengandung arti : agama, hukum, kewajiban, kode
tingkah laku (etika). Kata dharma dikaitan dengan “rta” dan “satya”. “Rta”
secara harfiah berarti garis lurus atau hukum-hukum yang tetap dan pasti, hukum
yang berlaku terhadap alam, berarti juga hukum univerasal. Ketika diperluas
untuk dunia moral, rta berarti tingkah laku yang lurus didasarkan atas
kebenaran itu sendiri yang juga adalah dharma.dharma: kesadaran batin mengenai
apa yang benar, berdasarkan atas ajaran – ajaran pustaka suci. Bila rta
diwujudkan dalam kata atau tindakan ia disebut”satya”.
Dharma sebagai kewajiban,
terdapat di dalam berbagai mantra Reg Weda disebut 56 kali. Dimaksudkan dalam
artikel kewajiban atau tindaklan yang akan menyumbang kepada pemeliharaan dunia
(jagad-daraka-karma).
2. Dasar-Dasar Etika Hindu
Semua etika agama berdasarkan keimanan. Etika Hindu berdasarkan
keimanan Hindu yang disebut Sraddha. Keimanan Hindu adalah lima pilar dasar
keimanan Hindu yang disebut Panca Sraddha, dapat dijelaskan sbb :
1. Widdhi
sraddha sebagai dasar etika Hindu.
Karena
yakin bahwa Tuhan berada dimana-mana dan selalu ada serta maha tahu, mengetahui
semua yang tampak dan tk tampak, maka menjadi alasan atau dasar yang mendorong
orang untuk selalu menjaga perilakunya agar tidak menyimpang dari ajaran-ajaran
Tuhan (Agama) dimana dan kapan pun, baik ada yang melihat maupun tidak. Walau
hanya dalam angan atau pikiran saja semestinya tidak dibiarkan menyimpang
karena Tuhan mengetahui apapun yang ada dalam pikiran manusia. Apalagi umat
Hindu juga yakin bahwa Tuhan menyayangi orang-orang yang susila dan berbudi pekerti
yang luhur.
2. Karena yakin dengan Atma
adalah dewa yang memberikan kekuatan hidup pada setiap mahkluk, maha saksi yang
tidak dapat ditipu, maka timbul etika tidak boleh bohong.
“Sanghyang Atma
sirata dewa ring sarira, manoning ala ayu tan keneng in imur-imur.”
Artinya, Sanghyang Atma adalah dewa dalam tubuh, mengetahui palsu dan sejati (baik – buruk) tak dapat dikelabuhi (Sukantala.).Karena yakin bahwa pada dasarnya Atma semua makhluk adalah tunggal, tapi berbeda kondisinya karena karmanya dan tubuhnya masing-masing maka Hindu meyakini konsep “Bhineka – Tunggal” artinya berbdea-beda satu sama lain namun pada hakekatnya tunggal. Berdasarkan kenyataan bahwa manusia keadaannya berbeda-beda, ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, ada yang lebih tinggi statusnya, ada yang lebih rendah, maka orang ber-tata krama atau ber-etika; orang yang lebih rendah statusnya atau lebih muda umurnya patut menghormati yang lebih tinggi statusnya atau lebih tua umurnya, orang lebih tinggi statusnya atau lebih patut menghargai yang lebih rendah dan yang lebih muda.
Artinya, Sanghyang Atma adalah dewa dalam tubuh, mengetahui palsu dan sejati (baik – buruk) tak dapat dikelabuhi (Sukantala.).Karena yakin bahwa pada dasarnya Atma semua makhluk adalah tunggal, tapi berbeda kondisinya karena karmanya dan tubuhnya masing-masing maka Hindu meyakini konsep “Bhineka – Tunggal” artinya berbdea-beda satu sama lain namun pada hakekatnya tunggal. Berdasarkan kenyataan bahwa manusia keadaannya berbeda-beda, ada yang lebih tua, ada yang lebih muda, ada yang lebih tinggi statusnya, ada yang lebih rendah, maka orang ber-tata krama atau ber-etika; orang yang lebih rendah statusnya atau lebih muda umurnya patut menghormati yang lebih tinggi statusnya atau lebih tua umurnya, orang lebih tinggi statusnya atau lebih patut menghargai yang lebih rendah dan yang lebih muda.
Berdasarkan
keyakinan bahwa, pada hakekatnya semua Atma adalah tunggal, melahirkan
fialsafat “Tat Twam Asi” artinya dia adalah kamu : melandasi serta mendorong
etika untuk saling menghargai satu sama lain. Tat Twam Asi juga landasan dasar
salah satu ajaran Etika Hindu : “Arimbawa” maksudnya punya pertimbangan
kemanusiaan, punya rasa kasihan, ingin menolong, dapat memaafkan, sehingga
dalam memperlakukan atau menindak orang lain mengukur pada diri sendiri. Sebelum
bertindak tanya dulu kepada diri sendiri “Bagaimana seandainya aku diperlakukan
artau ditindak demikian?” Bila menimbulkan rasa tak enak, menyakitkan, maka
sebaiknya orang tidak diperlakukan demikian : bila menyenangkan atau
membahagiakan (dalam arti positif) sebaiknya dilakukan.
3. Karena yakin dengan Hukum Karma
Phala bahwa, setiap perbuatan pasti akan membawa akibat, maka orang menjaga
sikap dan perilakunya agar selamat (anggraksa cara rahayu) termasuk menjaga
pikiran.“Yadiastun riangen-angen maphala juga ika”Artinya, walaupun baru hanya
dalam pikiran akan membawa akibat itu (ss).“Siapakari tan temung ayu masadana
sarwa ayu, nyata katemwaning ala masadhana sarwa ala”Artinya, siapa yang tak
akan memperoleh kebaikan bila sudah didasari dengan perbuatan baik?
Pastilah hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan perbuatan buruk (Arjuna 10.12.7). Keyakinan pada Karma Phala jelas menjadi dasar dan sekaligus kontrol dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum Karma Phala menumbuhkan Etika Hindu.
Pastilah hal-hal yang buruk akan dituai bila didasari dengan perbuatan buruk (Arjuna 10.12.7). Keyakinan pada Karma Phala jelas menjadi dasar dan sekaligus kontrol dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Demikianlah keyakinan pada Hukum Karma Phala menumbuhkan Etika Hindu.
4. Berdasarkan keyakinan pada
Punarbhawa bahwa, bila orang berperilaku buruk dalam hidupnya akan lahir
menjadi makhluk yang lebih rendah, mungkin menjadi manusia cacat bahkan mungkin
menjadi binatang tergantung derajat keburukan perilakunya, sebaiknya bila dalam
hidupnya didominasi oleh perbuatan-perbuatan baik, maka kelak ia akan lahir
pada tingkat makhluk yang lebih mulia seperti menjadi manusia yang lebih
rupawan, pintar, murah rezeki, memperoleh jalan hidup yang lebih baik, lebih
berwibawa, dsb, maka mesti menjaga tingkah lakunya agar dapat menjelma dalam
tingkat yang lebih tinggi derajatnya, lebih baik dalam segala hal, minimal
tidak jatuh menjadi makhluk yang lebih rendah/lebih sengsara.
5. Karena yakin dengan adanya
sorga yaitu alam tempat arwah yang sangat menyenangkan, alam tempat
meinkmati suka cita bagi arwah yang pada waktu hidupnya banyak berbuat baik.
Apalagi yakin dengan adanya moksa yang lebih tinggi lagi daripada sorga yaitu
menyatunya Atma dengan Brahman (Tuhan) bagi yang berhasil melepaskan diri dari
belenggu papa dengan berbuat baik (Subhakarma) menikmati “Sat cit ananda” atau
“Suka tan pawali dukha”, artinya suka yang tak akan pernah kembali menemukan
duka, dengan kata lain mencapai kebahagiaan abadi. Etika atau sila semakin
menjauhkan orang dari neraka dan menghantarkan untuk semakin dekat dengan sorga
dan moksa. Keyakinan ini mendorong orang untuk beretika, lebih semaangat untuk
menegakkan sila dalam hidupnya.
Demikianlah dasar-dasar etika Hindu itu yang berpijak pada keimanan Hindu.
Demikianlah dasar-dasar etika Hindu itu yang berpijak pada keimanan Hindu.
3. Nilai-nilai Etika yang tercantum dalam Hindu
Agama Hindu
sangat menjunjung tinggi sila (etika). Kitab Wrehaspati Tattwa meletakkan sila
nomor satu pada ajaran dharma bukanlah suatu kebetulan. Melainkan mempunyai arti
strategis bahwa di antara tujuh bagian dharma (sila, yajna, tapa, dana,
prawrejya, diksas dan yoga) sila adalah yang pertama dan utama. Tanpa sila yang
lain tak akan ada artinya dan tak akan berhasil. Hidup ini pun tak ada artinya
bila tidak diemban dengan sila.
Tak ada artinya kaya, sakti, jabatan tinggi,
rupawan, dsb bila tanpa sila. Perilaku yang bertentangan dengan sila disebut
asusila atau dursila akan menghilangkan nama baik bahkan jatuh menjadi nica
(orang rendahan). Orang yang demikian hakekatnya mati walaupun masih bernapas
dan kuat lincah. Lalu apa artinya kekayaan, jabatan tinggi, kesaktian, dll bila
tanpa sila.
“Sila ktikang predhana ring dadi wwang”, yang artinya kemulyaan orang terletak pada silanya.
(SS, 160)
“Sila ktikang predhana ring dadi wwang”, yang artinya kemulyaan orang terletak pada silanya.
(SS, 160)
Bila sila/etika
baik, walupun ia berasal dari kalangan masyarakat bawah miskin, kurang pintar,
masih muda, dia adalah orang mulia yang patut dihormati. Sebaliknya walaupun ia
dari bangsawan tinggi kaya pintar, jabatan tinggi, sakti berumur, tapi
asusila/dursila sesungguhnya dia orang rendahan dan tak patut dihormati.
(SS, 161)
(SS, 161)
Pada jaman
Krtha Yuga, manusia sangat mulia dan yang diutamakan pada jaman ini adalah tapa
disebutkan “Tapah param kertha yuge”, artinya tapa adalah
yang paling utama pada jaman Krtha Yuga; siapa yang lebih mampu melakukan tapa
(mengendalikan diri) dia yang dianggap paling mulia dan paling dihormati.
(M. Dh, 1.86)
(M. Dh, 1.86)
Memang hasil
tapa-brata itu sangat tinggi nilainya; hampir semua tokoh-tokoh Hindu seperti
para Maha Rsi di jaman yang lampau lahir dari Tapa Brata, maksudnya menjadi
besar dan sangat mulia karena hasil tapanya. Namun Bh. Brgu tetap meletakkan
sila sebagai yang terbaik.
Artinya : “Sarwasya tapasomulam acaram jagrhuh param”
Dari semua hasil Tapa Brata dan lain sebagainya, tetap perbuatan baik (sila) adalah yang terbaik.
(M. Dh. 1.11C)
Artinya : “Sarwasya tapasomulam acaram jagrhuh param”
Dari semua hasil Tapa Brata dan lain sebagainya, tetap perbuatan baik (sila) adalah yang terbaik.
(M. Dh. 1.11C)
4. Benar dan Salah menurut Agama Hindu
Berbicara soal benar dan salah dalam hubungan etika tidaklah seperti
ilmu pasti. Ada yang memberikan batasan sebagai berikut:“Segala sesuatu yang
dapat menolong dunia ini melalui jalan yang telah ditentukan oleh Sang Hyang
Widhi adalah benar, dan segala sesuatu yang menghalangi jalan ini adalah salah”
(Mantra : 1983.91). Kalau kita berpikir secara hitam putih, maka dapat
dikatakan sebagai berikut: Benar adalah yang sesuai dengan norma-norma yang
berlaku, dan semua yang melanggar norma adalah salah.
Norma
itu adalah kaedah aturan, ada norma agama, ada norma hukum, norma kesusilaan,
norma kewajaran, norma adat, dsb. Dalam kehidupan bermasyarakat tidaklah cukup
mengukur benar dan salah itu dari cara-cara yang hitam putih itu yang hanya
bersandar pada norma-norma. Karena variasi permasalahan ada bermacam-macam,
maka masih diberlakukan pertimbangan-pertimbangan yang diiringi dengan analisa -
analisa sehingga kesimpulan tentang benar dan salah itu bijak dan arif.
Disampingmenentukanbenardansalahdengannorma-norma
yang ada, juga sangat perlu mempertimbangkan: 1.Apa sebabnya dana pamotifnya
perbuatan itu? 2.Apa ekses atau dampak yang dapat ditumbulkan? Kalau berpikir
secara hitam-putih, membunuh orang adalah salah, mencuri, berbohong adalah
salah. Tapi ada orang membunuh pembunuh menyerangnya, dalam keadaan terdesak
dan tak ada jalan lain yang dapat dipilih untuk menyelamatkan masyarakat. Kalau
kedua contoh permsalahan ini diukur dari norma-norma saja secara hitam putih
cenderung hasilnya menjadi tidak benar.
Berkenan
dengan persoalan seperti ini ada berapa prinsip yang disebut prinsip-prinsip
etika.
1. Prinsip-Prinsip Etika
a. Prinsip Kebebasan
Memberikan kepada setiap orang suatu kebebasan untuk menggunakan hak-haknya misalnya, hak untuk menjelsakan duduk persoalan yang sebenarnya, hak bertanya, hak untuk membela diri, hak untuk menentukan pilihan, dsb adalah etis (benar).
Memberikan kepada setiap orang suatu kebebasan untuk menggunakan hak-haknya misalnya, hak untuk menjelsakan duduk persoalan yang sebenarnya, hak bertanya, hak untuk membela diri, hak untuk menentukan pilihan, dsb adalah etis (benar).
b. Prinsip Kebenaran
Seperti namanya prinsip ini lebih menekankan pada kebenaran, yang penting benar, masalah untung rugi adalah masalaha lain, masalah baik buruk adalah resiko. Jadi prinsip in mencari siapa dan apa yang benar, siapa, dan apa yang salah.
Seperti namanya prinsip ini lebih menekankan pada kebenaran, yang penting benar, masalah untung rugi adalah masalaha lain, masalah baik buruk adalah resiko. Jadi prinsip in mencari siapa dan apa yang benar, siapa, dan apa yang salah.
c. Prinsip Keadilan
Keadilan adalah memperlakukan orang secara seimbang, tapi nukan sama rata sama rasa. Karena adil adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kesalahan atau jasa yang diperbuatnya, juga sesuai menurut kedudukan masing-masing. Bila seseorang bersalah haknya adalah dihukum, sedangkan orang yang berjasa haknya adalah diberi penghargaan sesuai berat ringan kesalahan atau besar kecil jasa yang dilakukannya. Menghkum penjahat dan menghargai penjasa, adalah etis, sebaliknya tidak menghukum penjahat dan menekan penjasa adalah tidak etis. Dalam hal ini ada sloka “Tata manut lungguh” maksudnya, penghormatan dan tata krama masing-masing sesuai dengan posisi dan status masing-masing.
Keadilan adalah memperlakukan orang secara seimbang, tapi nukan sama rata sama rasa. Karena adil adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kesalahan atau jasa yang diperbuatnya, juga sesuai menurut kedudukan masing-masing. Bila seseorang bersalah haknya adalah dihukum, sedangkan orang yang berjasa haknya adalah diberi penghargaan sesuai berat ringan kesalahan atau besar kecil jasa yang dilakukannya. Menghkum penjahat dan menghargai penjasa, adalah etis, sebaliknya tidak menghukum penjahat dan menekan penjasa adalah tidak etis. Dalam hal ini ada sloka “Tata manut lungguh” maksudnya, penghormatan dan tata krama masing-masing sesuai dengan posisi dan status masing-masing.
d. Prinsip
Kerahasiaan
Prinsip ini adalah prinsip yang melihat dari segi derajat kerahasiaan sesuatu. Setiap orang punya rahasia pribadi masing-masing. Tidaklah etis membeberkan rahasia orang tidak pada tempatnya, kecuali memang hal rahasia itu yang dibahas. Maling kawakan pun dibilang maling, akan tersinggung. Tidak etis apabila mengatakan orang maling di muka umu bila permasalahan yang sedang dibahas tidak ada sangkut pautnya dengan predikat maling itu.
Prinsip ini adalah prinsip yang melihat dari segi derajat kerahasiaan sesuatu. Setiap orang punya rahasia pribadi masing-masing. Tidaklah etis membeberkan rahasia orang tidak pada tempatnya, kecuali memang hal rahasia itu yang dibahas. Maling kawakan pun dibilang maling, akan tersinggung. Tidak etis apabila mengatakan orang maling di muka umu bila permasalahan yang sedang dibahas tidak ada sangkut pautnya dengan predikat maling itu.
e. Prinsip Tidak
Merugikan
Prinsip ini berpatokan asal tidak merugikan orang lain. Apapun perbuatan seseorang yang penting tidak merugikan orang lain, maka tidaklah tidak etis.
Prinsip ini berpatokan asal tidak merugikan orang lain. Apapun perbuatan seseorang yang penting tidak merugikan orang lain, maka tidaklah tidak etis.
f. Prinsip
Menguntungkan
Prinsip ini berorientsi pada keuntungan. Apapun perbuatan itu asal menguntungkan para pihak atau orang banyak dianggp etis.
Prinsip ini berorientsi pada keuntungan. Apapun perbuatan itu asal menguntungkan para pihak atau orang banyak dianggp etis.
2. Hita Tan Hita Wasana
Pada akhirnya ukuran
benar dan salah dalam etika Hindu adalah “Hita tan hita wasana”. Prinsipnya
adalah berorientasi pada hasil akhir.
Wasana artinya akibat, efek, atau dampak.
Hita artinya serba baik seperti aman, damai, sejahtera, dsb.
Adapun perbuatan, tindakan atau putusan yang diambil asal menyebabkan aman sejahtera (hita wasana) adalah benar. Sebaliknya walaupun secara de fakto dan de yure benar, tapi menimbulkan dampak yang merusak hubungan atau berakibat tidak baik bagi para pihak dan orang banyak adalah salah.
Wasana artinya akibat, efek, atau dampak.
Hita artinya serba baik seperti aman, damai, sejahtera, dsb.
Adapun perbuatan, tindakan atau putusan yang diambil asal menyebabkan aman sejahtera (hita wasana) adalah benar. Sebaliknya walaupun secara de fakto dan de yure benar, tapi menimbulkan dampak yang merusak hubungan atau berakibat tidak baik bagi para pihak dan orang banyak adalah salah.
Suatu contoh dalam
Sarasamuscaya diuraikan sebagai berikut ini, yaitu :
Artinya : “Mon mithya ikang ujar, teher mengede hita juga, magawe sukha wasana ring sarwabhawa, sadhu ngaranya, mon yata bhuta towi yan tan pangede sukhawasana ring sarwabhawa, mithya garanika.”
Sekalipun sesungguhnya bohong kata-kata itu, tapi betul-betul menimbulkan hita juga, menyebabkan bahagianya berbagai makhluk itu jujur disebut. Walaupun jelas sesuai kenyataan sekalipun, bila tidak menyebabkan senang hati semua makhluk pada hakekatnya bohong itu.
(SS, 134)
Artinya : “Mon mithya ikang ujar, teher mengede hita juga, magawe sukha wasana ring sarwabhawa, sadhu ngaranya, mon yata bhuta towi yan tan pangede sukhawasana ring sarwabhawa, mithya garanika.”
Sekalipun sesungguhnya bohong kata-kata itu, tapi betul-betul menimbulkan hita juga, menyebabkan bahagianya berbagai makhluk itu jujur disebut. Walaupun jelas sesuai kenyataan sekalipun, bila tidak menyebabkan senang hati semua makhluk pada hakekatnya bohong itu.
(SS, 134)
Singkatnya,
bila membawa “Hita wasana” benar, bila tidak “Hita wasana” salah.
5. Dosa menurut Agama Hindu
APAKAH ORANG-ORANG HINDU PERCAYA
DENGAN KATA-KATA “DOSA” DAN “PENDOSA”?
Kecuali
dalam mythologi, dalam kitab-kitab suci Hindu tidak ada disebut mengenai dosa.
Agama Hindu menangani dosa dengan sangat ilmiah, melalui penjelasan tentang
hukum Karma, mengenai sebab dan akibat. Seluruh parable (cerita perumpamaan,
ibarat) menjelaskan bagaimana melihat masalah dosa-dosa dengan cara yang sangat
positif. Ketika seorang anak menaruh tangannya di api, dia terbakar.
Tindakannya
disini disebabkan oleh ketidaktahuannya mengenai kekuatan api. Anak itu tidak
melakukan dosa, tapi disebabkan oleh ketidak-tahuannya akan kebenaran bahwa api
membakar, dia melakukan karma buruk dan dia telah menerima hasilnya menjadi
terbakar. Agama Hindu melihat semua tindakan dalam cara seperti contoh yang
telah dijelaskan di atas.
Kita
semua berdosa atau melakukan karma buruk karena kebodohan. Kebodohan adalah
akar dari kejahatan. Pengetahuan menghilangkan kebodohan. Itulah caranya ide
tentang dosa dijelaskan dalam agama Hindu. Agama Kristen menekankan pada dosa
dan takut pada Tuhan dan neraka. Agama Hindu, seperti kujelaskan sebelumnya
menentang doktrin tentang dosa. Swami Ramakrishna Paramahamsa selalu memandang
rendah ide Barat bahwa manusia adalah para pendosa. Bhagawad Gita menyatakan,
“Sekalipun engkau adalah pendosa yang paling buruk, engkau akan melewati lautan
dosa dengan perahu kebijaksanaan / pengetahuan ini.” (Bab 4:36).
Adi
Sankaracharya dalam doktrinnya tentang Advaita, melihat kebodohan sebagai ilusi
atau Maya, dan berkali-kali menulis bahwa pengetahuan adalah satu-satunya
jawaban dari semua masalah manusia. Agama Hindu melarang kesadaran tentang dosa
dalam bentuk apapun. Kitab-kitab suci menyatakan, bahkan Tuhan sekalipun tidak
dapat menyelamatkan seseorang yang kasihan pada diri sendiri (self-pity) dan
merasa sebagai pendosa.
Seorang
Yogi yang telah maju akan melihat pada seorang bhakta, seorang pelacur dan
pembunuh sama saja, karena dia tahu bahwa kia semua adalah bagian dari proses
evolusi. Beberapa orang berada jauh di depan dan berjalan sangat cepat ke arah
Tuhan, dan beberapa yang lain ada pada gerbang permulaan dan berjalan selambat
keong menuju Tuhan. Beberapa orang dalam bentuk yang suci, dan beberapa orang
dalam keadaan mental binatang buas sekalipun ia memiliki bentuk manusia.
Bhagawad Gita menyatakan, “Yoga – persatuan dengan Yang Suci – adalah bagi
semua.” Jadi semua kita akan mencapai keselamatan (moksha, salvation) pada
suatu hari. Hanya faktor waktu yang berbeda antara seorang individu dengan
individu lain. Tuhan telah memberi kita kehendak bebas, supaya kita dapat
memutuskan kapan kita akan mencapai Tuhan.
Beberapa
orang melakukan percobaan dengan hidupnya dan mengambil ribuan tahun untuk
mencapai Tuhan, dan beberapa orang secara mental memahami kebenaran dan
mencapai Tuhan secara sangat cepat dengan mengikuti metode yang ditemukan oleh
para Mahareshi.
BAB II
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Etika sangat berhubungan erat dengan karmaphala, sebab etika
menyangkut segala tingkah laku, perbuatan dan cara bicara kita. Apapun yang
kita lakukan dan perbuat baik itu perbuatan baik atau buruk kita akan
mendapatkan karma sesuai dengan apa yang kita perbuat. Dan janganlah menyakiti
orang lain dengan kata-kata kasar dan menyakitkan yang keluar dari mulut kita
apabila kita tidak ingin mendapatkan karma yang buruk seperti pepatah
mengatakan” Mulut mu adalah Harimau mu”.
Selain
itu, untuk dapat membangun dan menegakkan etika dan moralitas bangsa Indonesia,
salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah mengembangkan pendidikan
multikultural yang di dalamnya terkandung penanaman nasionalisme, patriotisme,
menghargai HAM dan demokratisasi, yang merupakan hal yang sangat mendesak
untuk segera dilaksanakan di Indonesia guna sedini mungkin mencegah hal-hal
yang dapat menyulut potensi konflik yang berbau agama, suku, ras dan antar
golongan dalam masyarakat (SARA).
Untuk itu perlu mengembangkan kesadaran
ber-Bhinneka Tunggal Ika, mengikuti jejak para pendiri negara yang memiliki
jiwa yang besar dalam membangun masa dengan bangsa Indonesia yang agamis dan
humanis, maka diperlukan kesadaran kepemimpinan dengan meneladani tokoh-tokoh
dunia seperti Mahatma Gandhi, Vivekananda, Rabhindranath Tagore, dan di
Indonesia Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan lain-lain.
Untuk mencegah berbagai kemungkinan konflik dan
mencegah terorisme di masa yang akan datang pendidikan multikultural dapat
dilakukan mulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dengan
penekanan, seperti halnya pendidikan pada umumnya adalah keteladanan dari orang
tua di rumah, para guru di sekolah, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh
masyarakat di masing-masing komunitas masyarakat. Penerapan pendidikan
multikultural di sekolah dimulai dengan revisi kurikulum dan bahan ajar,
pengadaan bahan ajar yang memadai, serta peningkatan kualitas guru dan dosen dalam
meningkatkan pemahaman terhadap pendidikan multikultural ini.
Pendidikan multikultural hendaknya ditanamkan
sejak dini kepada setiap anak didik dengan demikian pada masanya generasi
muda ini akan mudah beradaptasi dengan lingkungan bersama yang terdiri dari
berbagai berbagai etnis, budaya dan agama. Berhasilnya pendidikan multikultural
ini dikembangkan di Indonesia bila didukung oleh Pemerintah dan semua komponen
bangsa, untuk itu sosialisasi pendidikan multikultural ini sangat perlu lebih
ditingkatkan. Salah satu upaya untuk hal tersebut adalah mengadakan berbagai
seminar, dialog, lokakarya, sarasehan dan diskusi untuk menyatukan visi
dan menyamakan misi dalam membangun dan mengembangkan pendidikan multikultural.
Dalam kaitannya
meningkatkan pendidikan agama yang inklusif, nasionalisme, patriotisme dan
multikultural, kembali dikutipkan pernyataaan Mahatma Gandhi berikut:
“Strength
does not come from physical capacity. It comes from an indomitable will”
(M.K.Gandhi, Between Cowardice and Violence)
“Aku menjaga diriku untuk tidak membenci apapun yang ada di bumi. Dengan disiplin doa yang panjang, aku telah berusaha selama lebih dari empat puluh tahun untuk tidak membenci orang lain. Aku tahu ini merupakan pernyataan besar. Meskipun demikian, aku melakukannya dengan segala kerendahan hati.”
“Kebenaran adalah agama saya, dan Ahimsa adalah satu-satunya jalan untuk mengejewantahkannya”
(M.K. Gandhi. All
Religions are True)
B. SARAN
Dalam melaksanakan tugas maupun pemecahan suatu masalah apapun jenis
dan apapun berat atau susahnya hadapi dengan tenang dan ingat semua masalah ada
jalannya. Oleh karena itu,perlu etika kita dalam kehidupan ini di sempurnakan dalam arti untuk kebajikan
dalam dunia ini. Karena dengan etika yang baik, benar dan sesuai aturan
kebajikan akan menerima berkah dari Sang Hyang Widhi Wasa atau Ranying Hatalla,
Tuhan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Madrasuta,
Ngakan Made. 2010. Tuhan Agama dan Negara.Bekasi : Penerbit Media Hindu.
( Tuhan Agama dan Negara
Cipt. Ngaku Made Madrasuta. Ciri-ciri buku 14 cm x 20 cm, vii + 385 halaman. Di
design: Ketut Rudita Marta. Diterbitkan oleh Media Hindu, Bekasi. Pada tanggal
19 Agustus 2010).
www.google.com Etika menurut Pandangan Hindu.
www.HukumHindu.com oleh Himpunan Mahasiswa Hukum Hindu |
Ditenagai oleh OnLombok.com. Dan Via E-email : tim@hukumhindu.com. Artikel yang Berjudul Hukum Hindu, pada
tanggal 08 juli 2011.
KATA PENGANTAR
Tabe Salamat Lingu Nalatai Sembah Sujud Karendem
Malempang.
OM. SWASTIASTU
Puji syukur
Penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa/Ranying Hatalla
Langit/ Sang Hyang yang telah melimpahkan rahmat dan anugerah –
Nya, sehingga Penulis
dapat menyelesaikan Karya Ilmiah
Agama Hindu ini dengan baik dan lancar.
Karya Ilmiah
yang berjudul :
“ETIKA DALAM BERAGAMA DAN BERNEGARA ”
yang sebagian besarnya
terinspirasi
dari Buku yang berjudul “Tuhan Agama dan Negara”. Karya yang
sederhana ini
tidak akan
terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak
yang sangat
berarti dalam penyusunan ini, maka pada kesempatan ini dan lewat tulisan ini
pula peneliti
menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. I
Nyoman Sudyana, M.Sc yang selaku Dosen Pendidikan Agama Hindu dan Pembimbing
dalam Penuliasan Makalah Ini.
2. Drs. Arifin, M.Si yang selaku Dosen Pembimbing Akademik.
3. Kepada
kedua orang tua yang telah mensupport penulis selama menyelesaikan
Makalah ini.
Harapan penulis semoga karya ilmiah
yang ibarat kata “Tak Ada Gading yang Tak
Retak” meskipun
masih belum sempurna ini dapat dijadikan dasar dan ide untuk mengadakan
penelitian
selanjutnya. Apabila ada kata-kata yang tidak
berkenan dan ada kekurangan dalam
penulisan karya
ilmiah ini, saya mohon maaf. Ibarat Pepatah “Ada Padang Ada Belalang”
artinya “Asal
mau berusaha pasti memperoleh keberhasilan” untuk itu Penulis meminta saran
dan kritik yang
membangun, sangat saya butuhkan dalam perkembangan penulisan ini.
Akhirnya penulis berharap agar karya ilmiah ini
dapat bermanfaat khususnya dalam dunia Pendidikan.
OM SANTI, SANTI,
SANTI OM
SAHIY, SAHIY, SAHIY.
Palangka Raya,
Nopember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL..................................................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................3
C. Tujuan Penulisan....................................................................................................4
D. Sistematika Penulisan............................................................................................4
E. Metode Penulisan....................................................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN
1. Etika di kehidupan Beragama dan Bernegara.............................5
2. Dasar-Dasar Etika Hindu.........................................................................13
3. Nilai-nilai Etika yang tercantum dalam
Hindu..........................15
4. Benar dan Salah menurut Agama
Hindu.....................................15
5. Dosa menurut
Agama Hindu................................................................18
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN..................................................................................................20
2.
SARAN.................................................................................................................21
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar