Model VSEPR yang sebagian besar didasarkan pada struktur
Lewis, memang dapat menjelaskan dengan baik mengenai geomteri molekul, namun
teori lewis tidak secara jelas dapat menjelaskan mengenai mengapa terjadi
ikatan kimia. Contoh ketidakmampuan dari teori Lewis ini adalah ketika
menggambarkan ikatan tunggal antar atom H dalam H2 dan antar atom F
dalam F2. Teori Lewis menggambarkan ikatan-ikatan ini dengan cara
yang sama-sebagai perpasangan dua elektron. Tetapi kedua molekul ini memiliki
energi ikatan dan panjang ikatan yang berbeda (436,4 kJ/mol untuk H2
dan 150,6 kJ/mol dan 142 pm untuk F2). Hal ini dan berbagai fakta
lainnya tidak dapat dijelaskan oleh teori Lewis. Fakta-fakta ini dapat
dijelaskan dengan menggunakan teori ikatan valensi yang menggunakan kajian
mekanika kuantum.
Teori ikatan valensi mengasumsikan bahwa sebuah ikatan kimia
terbentuk ketika dua valensi elektron bekerja dan menjaga dua inti atom bersama
oleh karena efek penurunan energi sistem, teori ini berlaku dengan baik pada
molekul diatomik. Pada teori ikatan valensi ini, elektron-elektron dalam
molekul menempati orbital-orbital atom dari masing-masing atom.
Untuk mempermudah penjelasan mengenai teori ikatan valensi
ini, akan diambil contoh mengenai pembentukan molekul H2 dari atom
H. Dalam teori Lewis, digambarkan ikatan H-H dengan perpasangan dua elektron
pada atom-atom H. Dalam kerangka teori ikatan valensi, ikatan kovaln H-H
dibentuk melalui daerah dalam ruang yang digunakan bersama oleh kedua orbital
1s dalam atom-atom H, yang dalam konsep ini disebut tumpang tindih elektron.
Gambar Pembentukan H2 menurut teori ikatan
valensi
Apa yang terjadi ketika kedua atom H dalam gambar 2.10
saling mendekat dan membentuk ikatan dapat dijelaskan sebagai berikut. Awalnya
ketika kedua atom saling berjauhan, tidak ada interaksi yang terjadi. Dapat
dikatakan ketika itu, energi potensialnya nol. Namun, ketika masing-masing atom
saling mendekat, setiap elektron ditarik oleh inti atom yang lain; pada saat
yang sama kedua atom saling tolak menolak, dan begitu juga dengan kedua
intinya.
Selama kedua atom masih terpisah, gaya tarik menarik lebih
kuat dibandingkan dengan gaya tolak menolak, sehingga energi potensial turun
menjadi negatif ketika atom-atom saling mendekat. Kecenderungan ini terus
berlanjut hingga energi potensial mencapai titik minimum. Pada titik ini,
ketika sistem memiliki energi potensial terendah. Sistem tersebut mencapai
kondisi paling stabil. Kondisi ini berkaitan dengan tumpang tindih yang baik
antar orbital 1s dan pembentukan H2 yang stabil. Sebagai
akibat dari penurunan energi potensial sistem, maka menurut hukum kekekalan
energi, sejumlah kalor akan dilepaskan, sehingga reaksi akan berupa eksoterm.
Konsep
elektron valensi dapat diterapkan tidak hanya dalam molekul H2,
tetapi juga dalam molkul diatomik lain, misalnya HF, dengan teori ini dapat
dijelaskan bahwa molekul HF terbentuk sebagai akibat dari tumpang tindih
orbital 1s dalam atom H dengan orbital 2p dalam atom F. Dalam
setiap kasus, teori ikatan valensi menjelaskan perubahan energi potensial
ketika jarak antar atom yang bereaksi berubah. Karena orbital-orbital yang
terlibat tidak selalu sama dalam setiap kasus, maka dapat dijelaskan mengapa
energi ikatan dan panjang ikatan dalam beberapa molekul diatomik dapat berbeda,
sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan teori Lewis.
Teori ini merupakan salah satu pendekatan untuk menjelaskan
ikatan kovalen yang terbentuk pada suatu senyawa.
Postulat
:
Bila 2 atom membentuk suatu ikatan kovalen, orbital paling
luar salah satu atom mengadakan tumpang tindih dengan orbital paling luar atom
yang lain, dan pasangan electron yang dimiliki bersama berada di daerah
terjadinnya tumpang tindih tersebut. Tumpang tindih yang terjadi dibedakan
menjadi 2 jenis, yaitu sigma (σ) dan phi (π).
Ikatan
sigma terjadi pada orbital dari 2 elektron bersama yang tumpang tindih
dengan arah adu kepala.
Contoh
: F2
konfigurasi
elektron 9F =
Dari konfigurasi tersebut, diketahui orbital paling luar
dari F adalah 2pz dan berisi terisi setangah penuh, maka orbital
inilah yang akan saling tumpang tindih dengan orbital 2pz atom F
yang lain.
Pada ikatan sigma, tumpang tindih yang terbentuk tidak
dipisahkan oleh bidang simpul atau “nodal plane” (bidang pemisah muatan (+) dan
(-))
Sedangkan ikatan phi terjadi ketika tumpang tindah 2 orbital
dengan keadaan arah sejajar/lateral. Pada setiap ikatan akan phi akan selalu
terdapat ikatan sigma, yang sifatnya lebih kuat dibandingkan ikatan phi. Pada
ikatan phi akan terbentuk bidang simpul (nodal plane) ketika kedua orbital
saling bertumpang tindih (lihat ilustrasi di bawah ini)
Contoh
: N2
Dari
hibridisasi di atas diketahui bahwa orbital yang akan mengadakan tumpang tindih
adalah orbital 2px, 2py, dan 2pz dari kedua
atom N.
Tumpang
tindih antara 2 orbital Px memberikan ikatan sigma (karena muatan
(+) pada masing masing orbital akan saling bertumpang tindih/adu kepala)
Tumpang tindih antara 2 orbital Py dan Pz
akan memberikan ikatan phi (terjadi tumpang tindih lateral sehingga terbentuk
bidang simpul)
Jadi pada teori ini, kestabilan ikatan kovalen dapat
dijelaskan dengan terjadinya tumpang tindih “overlapping”
orbital-orbital atom. Dengan konsep hibridiasi pun dapat jelaskan bentuk
molekul yang diramalkan dalam teori VSEPR, namun disayangkan untuk kasus-kasus tertentu, semisal pada
senyawa CO2, pada teori ini senyawa tersebut akan bersifat
diamagnetic tetapi pada kenyataannya berdasarkan hasil percobaan, CO2
merupakan senyawa para magnetic akibat 2 pasang electron yang tidak berpasangan
(lonepair electron).
- Teori ini mengaitkan antara
proses hibidisasi dan betuk struktur senyawa kompleks.
- Teori ini mengungkapkan ikatan
dalam senyawa kompleks merupakan ikatan kovalen koordinasi hasil overlap
antara orbital ligan yang berisi PEB dan ion logam pusat yang orbitalnya
kosong, ion pusat menyediakan orbital kosong melalui proses hibridisasi.
- Dalam teori ini pembentukan
semyawa kompleks dapat dipandang sebagai reaksi asam-basa lewis.
-
Contoh
kompleks oktahedral: